Sabtu, 14 November 2009

BAB I
PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang
Pencemaran oleh produk petroleum atau senyawa hidrokarbon dan turunannya pada perairan semakin meningkat seiring dengan berkembangnya teknologi dan pertumbuhan sektor industri. Penggunaan bahan bakar dan minyak pelumas, seperti solar, residu dan oli yang tergolong senyawa hidrokarbon oleh berbagai industri, alat berat, dan alat transportasi dapat menjadi sumber bahan pencemar (Husain, 2006).
Hidrokarbon memiliki solubilitas yang rendah dalam air, dapat berada dalam bentuk butiran minyak yang berukuran sangat kecil. Begitupula di bawah efek agitasi hidrokarbon dapat membentuk emulsi serta terabsorbsi pada partikel membentuk gumpalan padat dalam sedimen (Husain, 2005).
Beberapa cara yang dapat dilakukan untuk menanggulangi pencemaran oleh hidrokarbon adalah dengan cara fisik, kimia, dan biologi. Secara fisik misalnya dengan penjaringan lapisan minyak yang mengapung. Secara kimiawi yaitu dengan penambahan bahan kimia sebagai bahan pengemulsi yang dapat menimbulkan terjadinya emulsifikasi, namun kedua cara tersebut tidak efesien karena dapat menghasilkan produk yang berbahaya. Penanggulangan secara mikrobiologis diakui lebih aman karena melibatkan proses biodegradasi (Atlas, 1991). Cara tersebut dilakukan menginokulasikan bakteri yang ramah lingkugan yang mampu mendegradasi hidrokarbon menjadi karbondioksida (CO2) dan air (H2O) sebagai hasil akhir.
Biodegradasi senyawa organik dengan daya larut air yang terbatas sangat lambat karena kurang tersedianya senyawa organik untuk sel-sel mikroba. Seperti yang telah ditunjukkan pada studi-studi sebelumnya, tersedianya senyawa organik larut yang jumlahnya sedikit, dapat diperbanyak dengan memproduksi surfactant secara microbial (biosurfactant), yang dapat meningkatkan dispersi cairan dengan besaran yang banyak (Zhang dan Miller, 1994).
Biosurfaktan yang diproduksi oleh mikroorganisme berperan dalam proses emulsifikasi dan atau solubilisasi hidrokarbon yang pada gilirannya memungkinkan terjadinya kontak antara sel mikroorganisme dan senyawa hidrokarbon sebagai substrat. Hal tersebut menyebabkan biosufkatan berfungsi menurunkan tegangan permukaan dan interface antara hidrokarbon-udara atau udara-air (Husain, 2006).
Pada penanganan limbah hidrokarbon perlakuan dengan penambahan surfaktan sintesis sering dilakukan untuk memungkinkan terjadinya emulsifikasi. Surfaktan sintesis jarang digunakan karena surfaktan tersebut berasal dari bahan kimia yang dapat menimbulkan toksik sedangkan surfaktan non sintetik yang berasal dari mikroorganisme tidak menimbulkan toksik. Kondisi tersebut sangat diharapkan untuk memudahkan mikroorganisme mengasimilasi senyawa tersebut. Jadi biosurfaktan selain sebagai stimulator dalam proses biodegradasi juga digunakan dalam berbagai industri (Husain, 2006). Hal ini yang merupakan faktor pendukung atau melatar belakangi sehingga penelitian ini dilaksanakan.

I.2 Tujuan penelitian
Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah:
1. Menetukan kemampuan pertumbuhan dari isolat bakteri gram negatif pada substrat yang berbeda yaitu hidrokarbon petroleum, eicosane, dan natrium asetat.
2. Untuk melihat kemampuan emulsifikasi senyawa ekstra seluler isolat bakteri gram negatif selama pertumbuhannya.

I.3 Manfaat Penelitian
Manfaat dilakukannya penelitian adalah:
1. Untuk diketahui mengenai emulsifikasi dari bakteri gram negatif yang nantinya dapat dimanfaatkan di dalam perindustrian, misalnya industri cet, deterjen, kosmetik, dan lain-lain.
2. Untuk diketahui mengenai kemampuan dari isolat bakteri gram negatif yang diperoleh dari kolom air pelabuhan Paotere Makassar dalam menghasilkan senyawa yang bersifat pengemulsi.
I.4 Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan November - Maret 2009, yang dilaksanakan di Laboratorium Mikrobiologi, Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Hasanuddin, Makassar.

Rabu, 12 Agustus 2009

KOMPLEMEN SISTEM IMUN

SISTEM IMUN KOMPLEMEN
Komplemen adalah kumpulan sembilan protein plasma (C1-C9) bukan antibodi yang diperlukan pada reaksi antigen-antibodi sehingga terjadi kerusakan jaringan atau kematian mikroba serta lisis sel.
MEDIATOR YANG DILEPAS KOMPLEMEN
Aktivasi komplemen menghasilkan sejumlah molekeul efektor antara lain anafilaktoisisin, adherens imun, opsonin, dan membrane attack complex yang mempunyi efek biologi.
AKTIVASI KOMPLEMEN
Ada 3 aktivator yang berbeda yang mendeteksi kuman dan mengaktifkan C3 yang merupakan komplemen kunci. Sistem komplemen mengandung lebih dari 18 macam protein. Protein-protein ini bertindak dalam suatu kaskade, dimana satu protein mengaktifkan protein berikutnya. Sistem komplemen bisa diaktifkan melalui 2 cara yang berbeda:
1.Jalur alternatif : diaktifkan oleh produk mikroba tertentu atau antigen
2. Jalur klasik : diaktifkan oleh antibodi khusus yang terikat pada antigen (komplek imun).
3. jalur lektin MBL
A. Aktivasi komplemen melalui jalur Lektin (MBL)
Mannan Binding Lektin (MBL) adalah kolektin yang dapat diikat memalui bagian lektin oleh hidrat arang kuman. Setelah MBL diikat kuman lektin tersebut, MBL segera mengaktifkan C3
B. Aktivasi komplemen melalui jalur klasik
Penggunaan istilah klasik berdasarkan ditemukannya yang pertama kali, meskipun reaksi melalui jalur klasik terjadi sedsudah reaksi jalur lainnya. Ativasi jalur klasik dimulai dengan C1 yang dicetuskan oleh kompleks imun antibody dan antigen.
IgM memiliki sebanyak 5 Fc mudah diikat oleh C1 . meskipun C1 tidak mempunyai sifat enzim, namun stelah dia berikatan dengan Fc dapat mengakifkan C2 dan C4 yang selanjtunya mengkatifkan C3.
IgM dan IgG1, IgG2, IgG3 (IgM lebih kuat dibandingkan dengan IgG) yang membentuk kompleks imun dengan antigen, dapat mengaktifkan komplemen melalui jalur klasik, jalur klasik melibatkan 9 komplemen protein utama yaitu C1-C9. Selama aktivasi, protein-protein tersebut diaktifkan secara berurutan. Produk yang dihasilkan menjadi katalisator dalam reaksi berikutnya. Jadi stimulus kecil dapat menimbulkan reaksi aktivasi komplemen berantai. Lipid A dari endotoksin, protease, Kristal urat, polinukleotida, membaran virus tertentu dan CRP dapat mengakifkan kompleme melalui jalur klasik.
C. Aktivasi kopmlemen melalui jalur alternatif
Aktivasi jalur alternatif dimulai dari C3 yang merupakan molekul yang tidak stabil dan terus menerus ada dalam aktivasi spontan derajat rendah dan klinis yang tidak berarti. Aktivasi spontan C3 diduga terjadi pada permukaan sel, meskipun sel normal mengekspresikan inhibitor permukaan yang mencegah aktifasi C3.
Antigen+IgG/IgM Non-Imunologik/enzim
C1q JALUR KLASIK
C1r
C1s
C2 (anafilatoksin) (anafilatoksin, faktor kemotaktik)
C2 kinin C4 C3a C5a
Menyerupai C3 C4 C5 C6 C7 C8 C9 lisis

Faktor B dan D C3b aderensi C5b
Properdin opsonisasi JALUR ALTERNATIF
IgA, endotoksin, dll



FUNGSI KOMPLEMEN
1. Inflamasi
Sebagai langkah awal untuk menghancurkan benda asing dan mikroorganisme serta membersihkan jaringan yang rusak
Tubuh mengerahkan elemen-elemen system imun ke tempat benda asing dan mikroorganisme yang masuk ke tubuh atau jaringan yang rusak tersebut
Fagositosis merupakan komponen penting pada inflamasi
Dalam inflamasi, ada 3 hal yang terjadi, yaitu:
Peningkatan pasokan darah ke tempat benda asing dan mikrorganisme atau jaringan yang rusak
Peningkatan permeabilitas kapiler yang ditimbulkan oleh pengerutan sel endotel yang memungkinkan molekul yang lebih besar seperti antibody dan fagosit bergerak keluar pembuluh darah menuju ke tempat benda asing (diapedesis)
Mikrorganisme atau jaringan yang rusak.
Peningkaan permeabilitas vascular yang local terjadi atas pengaruh anafilatoksin (C3a, C4a, C5a). aktivasi komplemen C3 dan C5 menghasilkan fragmen kecil C3a dan C5a yang merupakan anafilatoksin yang dapat memacu degranulasi sel mast dan atau basofil melepas histamine. Histamine yang dapat dilepas sel mast atas pengaruh komplemen, meningkatkan permeabilitas vascular dan kontraksi otot polos dan keluarnya plasma yang mengandung banyak antibody, opsonin dan kompnen komplomen ke jaringan.
2. Kemokin
Merupakan molekul yang dapat menarik dan mengerahkan sel-sel fagosit. C3a, C5a dan C5-6-7 merupakan kemokin yang dapat mengerahkans sel-sel fagosit baik mononuclear maupun polimorfonuklear ke tempat terjadi infeksi. C5a adalah kemoatraktan untuk neutrofil yang juga merupakan anafilatoksin. Monosit yang masuk ke jaringan menjadi makrofag, dan fagositosisnya diaktifkan opsonin dan antibody. Makrofag yang diaktifkan melepas berbagai mediator yang ikut berperan dalam reaksi inflamasi.
3. Fagositosis – opsonin
C3b dan C4b mempunyai sifat opsonin. Opsonin adalah molekul yang dapat diikat disatu pihak leh partikel (kuman) dan dilain pihak oleh reseptornya pada fagosit sehingga memudahkan fagositosis bakteri atau sel lain. C3 yang banyak diaktifkan pada aktivasi komplemen merupakan sumber opsonin utama (C3b). Molekul C3b dalam bentuk inaktif (iC3b), juga berperan sebagai opsonin dalam fagositosis oleh karena fagositosis juga memiliki reseptor untuk CiC3b.
IgG juga dapat berfungsi sebagai opsonin, bila berikatan dengan reseptor Fc pada permukaan fagosit. Oleh karena fagosit tidak memiliki reseptor Fc untuk IgM, opsonisasi yang dibantu konplemen merupakan hal yang sangat penting selama terjadi respon antibody primer yang didominasi IgM yang merupakan activator komponen poten. CRP juga berfungsi sebagai opsonin.
4. Adherens Imun
Adherens Imun merupakan fenomena dari partikel antigen yang melekat pada berbagai permukaan (mis: permukaan pembuluh darah), kemudian dilapis antibody dan mengaktifkan komplemen. Akibatkan anigen akan mudah difagositosis. C3b berfungsi dalam adherens imun tersebut.
5. Elimiasi kompleks imun
C3a atau iC3b dapat diendapkan dipermukaan kompleks imun dan merangsang eleminasi kompleks imun. Baik sel darah merah dan neutrofil memiliki CR1-R dan mengikat C3b dan iC3b. C3 dan C4 ditemukan dalam kompleks imun yang larut dan diikat oleh CR1-R pada sel darah merah yang mengangkutkan ke organ yang mengandung banyak fixed fagosit seperti hati dan limpa. Melalui reseptor komplemen dan Fc, fagosit-fagosit tersebut menyingkirkan dan menghancurkan kompleks imun dari sel darah merah. Pada proses ini, sel darah sendiri tidak rusak.
Neutrofil dapat mengeliminasi kompleks imun kecil dalam sirkulasi. Bila antigen tidak larut yang diikat antibody dan dibentuk dalam darah atau jaringan tidak disingkirkan, akan memacu inflamasi dan dapat menimbulkan penyakit kompleks imun. Kompleks besar tidak larut sulit untuk disingkirkan dari jaringan; sejumlah besar C3 yang diaktifkan dapat melarutkan kompleks tersebut.
6. Lisis osmotic bakteri
Aktivasi C3 (jalur alternative atau klasik) akan mengaktifkan bagian akhir dari kaskade komponen komplemen C5-C9. Aktivasi komplemen yang erjadi dipermukaan sel bakteri akan membentuk Membrane Attack Complex dan akhirnya menimbulkan lisis osmotic sel atau bakteri. C5 dan C6 memiliki aktivasi enzim, yang memungkinkan C7, C8 dan C9 memasuki membrane plasma dari sel sasaran.
7. Aktivitas sitolitik
Eosinofil dan sel polimorfonuklear mempnyai reseptor untuk C3b dan IgG sehingga 3b dapat meningkakan sitotoksisitas sel efektor Antibody Dependent Cell Mediated Cytotoxicity (ADCC) yang kerjanya bergantung pada IgG. Disamping itu sel darah merah yang diikat C3b dapat dihancurkan juga melalui kerusakan kontak. C8-9 merusak membrane membentuk saluran-saluran dalam membrane sel yang menimbulkan lisis osmotic.

RESEPTOR KOMPLEMEN
Aktivasi komplemen jalur alternative dan klasik menghasilkan beberapa fragmen komplemen yang diikat oleh reseptor yang ditemukan pada berbagai jenis sel. C1qR ditemukan pada makrofag yang mengikat C1G dari jaringan kolagen dan berperanan pada elimnasi antigen. CR2 merupakan bagian dari kompleks ko-reseptor sel B dan juga ditemukan pada sel dendritik folikular yang berfungsi dalam fagositosis kompleks imun di center germinal dan dalam perkembangan sel memori. CR3 adalah antegrin (molekul adhesi). Pada fagosit mononukleat, neutrofil dan Sel NK yang fungsinya memudahkan fagositosis kompleks imun dan juga dalam migrasi monosit ke jaringan. CR4 merupakan intergrin yang memupunyai fungsi sama dengan CR3, diekspresikan terutama pada makrofag jaringan.
Protein dalam serum yang merupakan komponen pada aktivasi komplemen, baik pada jalur klasik maupun jalur alternative dibentuk oleh hati, makrofag, monosit dan ssel epitel intestinal. Bahan-bahan tersebut dilepas kedalam serum dalam bentuk tidak aktif.
Pada tiap tahap penglepasan mediator terdapat mekanisme tubuh untuk menetralkan, yang disebut regulator, sehingga tidak akan terjadi reaksi yang berlangsung terus-menerus yang dapat menimbulkan kerusakan jaringan. System enzim yang kompleks ini diatur oleh beberapa penyekat protein yang dapat mencegah aktivasi premature dan aktivitas yang menunjang dari setiap produk. Contohnya adalah penyekat esterase CI (CI INH), penyekat C3b, inaktifator anafilatoksin dan penyekat C4b. defesiensi bahan-bahan tersebut jarang ditemukan. Penyekat anafilatoksin menginaktifkan C3a dan C5a. penyekat C3b mengikat molekul tersebut dan membuatnya menjadi inaktif.

















DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 2008. http://sistem kekebalan tubuh. Diakses pada hari Minggu, 11 Februari 2009.

Anonim, 2008. http://www.kalbe.co.id/, cermin dunia kedokteran, Diakses pada hari Minggu, 11 Februari 2009.

Anonim, 2007. http://keperawatanadil.blogspot.com/2007/11/respon-imun.html, Diakses pada hari Minggu, 11 Februari 2009.

Anonim, 2009. http://farmasiforyou.wordpress.com/2008/11/23/sistem-komplemen/
Anonim, 2008. http://209.85.173.132/search. Diakses pada hari Minggu, 11 Februari 2009.

Bratawidjaja, K.G., 2004. Imunologi Dasar edisi ke-6. Fakultas Kedokteran UI. Jakarta.

Sabtu, 01 Agustus 2009

TEKNIK PEWARNAAN MIKROORGANISME

A. PENDAHULUAN
Melihat dan mengamati bakteri dalam keadaan hidup sangat sulit, kerena selain bakteri itu tidak berwarna juga transparan dan sangat kecil. Untuk mengatasi hal tersebut maka dikembangkan suatu teknik pewarnaan sel bekteri, sehingga sel dapat terlihat jelas dan mudah diamati. Olek karena itu teknik pewarnaan sel bakteri ini merupakan salahsatu cara yang paling utama dalam penelitian-penelitian mikrobiologi.
Prinsip dasar dari pewarnaan ini adalah adanya ikatan ion antara komponen selular dari bakteri dengan senyawa aktif dari pewarna yang disebut kromogen. Terjadi ikatan ion karena adanya muatan listrik baik pada komponen seluler maupun pada pewarna. Berdasarkan adanya muatan ini maka dapat dibedakan pewarna asam dan pewarna basa
Pewarna asam dapat tejadi karena bila senyawa pewarna bermuatan negatif. Dalam kondisi pH mendekati netral dinding sel bakteri cenderung bermuatan negatif, sehingga pewarna asam yang bermuatan negatif akan ditolak oleh dinding sel, maka sel tidak berwarna. Pewarna asam ini disebut pewrna negatif. Contoh pewarna asam misalnya : tinta cina, larutan Nigrosin, asam pikrat, eosin dan lain-lain. Pewarnaan basa bisa terjadi biasenyawa pewarna bersifat positif, sehingga akan diikat oleh dinding sel bakteri dan sel bakteri jadi terwarna dan terlihat. Contoh dari pewarna basa misalnya metilin biru, kristal violet, safranin dan lain-lain.
Teknik pewarnaan asam basa ini hanya menggunakan satu jenis senyawa pewarna, teknik ini disebut pewarna sederhana. Pewarnaan sederhana ini diperlukan untuk mengamati morfologi, baik bentukmaupun susunan sel. Teknik pewarnaan yang lain adalah pewarnaan diferensial, yang menggunakan senyawa pewarna yang lebih dari satu jenis. Diperlukan untuk mengelompokkan bakteri misalnya, bakteri gram positif dan bakteri gram negatif atau bakteri tahan asam dan tidak tahan asam. Juga diperlukan untuk mengamati struktur bakteri seperti flagela, kapsula, spora dan nukleus.
Teknik pewarnaan bukan pekerjaan yang sulit tapi perlu ketelitian dan kecermatan bekerja serta mengikuti aturan dasar yang belkau yakni sebagai berikut:
mempersiapkan kaca obyek. Kaca obyek ini harus bersih dan bebas lemak, untuk membuat apusan dari bakteri yang diwarnai.
mempersiapkan apusan. Apusan yang baik adalah yang tipis dan kering, terlihat seperti lapisan yang tipis.
Apusan ini dapat berasal dari biakan cair atau padat.
Biakan Cair. Suspensi sel sebanyak satu atau dua mata jarum inokulasi diletakkan pada kaca obyek. Lalu diapuskan pada kaca obyek selebar ... cm. Biarkan mengering diudaraata diatas api kecil dengan jarak 25 cm. Biakan Padat. Bakteri yang dikultur pada medium padat tidak dapat langsung dibuat apusan seperti dari biakan cair, tapi harus diencerkan dulu. Letakkan setetes air pada kaca obyek, lalu denganjarum inokulasi ambil bakteri dari biakan padat, letakkan pada tetesan air dan apusan. Biarkan mengering diudara.• Fiksasi dengan pemanasan. Apusan bakteri pada akaca obyek bila tidak diletakkan secara kuat, dapat terhapus pada waktu proses pewarnaan lebih lanjut. Proses peletakan apusan pada kaca obyek dapat dilakukan diantaranyadengan cara memanaskan diatas api.
B. DASAR TEORI
-pewarnaan gram
Proses pewarnaan diferensial ini memerlukan 4 jenis reagen. Bakteri terbagi atas dua kelompok berdasarkan pewarnaan ini, yaitu bakteri gram positif dan bakteri gram negatif. Perbedaan ini berdasarkan warna yang dapat dipertahankan bakteri. Reagen pertama disebut warna dasar, berupa pewarna basa, jadi pewarna ini akan mewarnai dengan jelas. Reagen kedua disebut bahan pencuci warna (decolorizing agent). Tercuci tidaknya warna dasar tergantung pada komposisi dinding sel, bilakomponen dinding sel kuat mengikat warna, maka warna tidak akan tercuci sedangkan bila komponen dinding sel tidak kuat menelan warna dasar, maka warna akan tercuci. Reagen terakhir adalah warna pembanding, bila warna tidak tercuci maka warna pembanding akan terlihat, yang terlihat pada hasil akhir tetap warna dasar.
Bakteri hidup sulit untuk dilihat dengan mikroskop cahaya terang biasa karena bakteri itu tampak tidak berwarna jika diamati secara sendiri, walaupun biakannya secara keseluruhan mungkin berwarna. Bakteri sering diamati dalam keadaan olesan terwarnai daripada dalam keadaan hidup. Yang dimaksud dengan bakteri terwarnai adalah oganisme yang telah diwarnai dengan zat pewarna kimia agar mudah dilihat dan dipelajari (Volk dan Whleer, 1998).
Sel-sel mikroorganisme yang tidak diwarnai umumnya tampak hampir tembus pandang (transparan) bila diamati dengan mikroskop cahaya biasa hingga sukar dilihat karena sitoplasma selnya mempunyai indeks bias yang hampir sama dengan indeks bias lingkungannya yang bersifat cair. Kontras antara sel dan latar belakangnya dapat dipertajam dengan cara mewarnai sel-sel tersebut dengan zat-zat warna (Hadioetomo, 1990).
Pada umumnya, olesan bakteri terwarnai mengungkapkan ukuran, bentuk, susunan dan adanya struktur internal seperti spora dan butiran zat pewarna khusus diperlukan untuk melihat bentuk kapsul ataupun flagella, dan hal-hal terperinci tertentu di dalam sel. Zat pewarna adalah garam yang terdiri atas ion positif dan ion negatif, yang salah satu diantaranya berwarna (Volk dan Whleer, 1998).
Sel bakteri dapat teramati dengan jelas jika digunakan mikroskop dengan perbesaran 100x10 yang ditambah minyak imersi. Jika dibuat preparat ulas tanpa pewarnaan, sel bakteri sulit terlihat. Pewarnaan bertujuan untuk memperjelas sel bakteri dengan menempelkan zat warna ke permukaan sel bakteri. Zat warna dapat mengabsorbsi dan membiaskan cahaya, sehingga kontras sel bakteri dengan sekelilingnya ditingkatka. Zat warna yang digunakan bersifat asam atau basa. Pada zat warna basa, bagian yang berperan dalam memberikan warna disebut kromofor dan mempunyai muatan positif. Sebaliknya pada zat warna asam bagian yang berperan memberikan zat warna memiliki muatan negatif. Zat warna basa lebih banyak digunakan karena muatan negatif banyak banyak ditemukan pada permukaan sel. Contoh zat warna asam antara lain Crystal Violet, Methylene Blue, Safranin, Base Fuchsin, Malachite Green dll. Sedangkan zat warna basa antara lain Eosin, Congo Red dll (Irawan, 2008).
Banyak senyawa organik berwarna (zat warna) digunakan untuk mewarnai mikroorganisme untuk pemeriksaan mikroskopik dan telah dikembangkan prosedur pewarnaan untuk (Suriawiria, 1985) :
- Mengamati dengan baik morfologi mikroorganisme secara kasar.
- Mengidentifikasi bagian-bagian struktural sel mikroorganisme.
- Membantu mengidentifikasi atau membedakan organisme yang serupa.

Langkah-langkah utama dalam persiapan spesimen mikroba untuk pemeriksaan mikroskopik adalah (Pelczar, 1986) :
- Penempatan olesan atau lapisan spesimen pada kaca objek.
- Fiksasi olesan pada kaca objek.
- Aplikasi pewarna tunggal (pewarnaan sederhana) atau serangkaian larutan pewarna atau reagen (pewarnaan diferensial.
Pewarnaan atau pengecatan terhadap mikroba, banyak dilakukan baik secara langsung (bersama bahan yang ada) ataupun secara tidak langsung (melalui biakan murni). Tujuan dari pewarnaan tersebut adalah pewarnaan untuk (Suriawiria, 1985) :
- Mempermudah melihat bentuk jasad baik bakteri, ragi ataupun fungi.
- Memperjelas ukuran dan bentuk jasad
- Melihat struktur luar dan kalau memungkinkan juga struktur dalam jasad.
- Melihat reaksi jasad terhadap pewarna yang diberikan sehingga sifat fisik dan kimia yang ada akan dapat diketahui.
Pewarna yang digunakan pada umumnya berbentuk senyawa kimia khusus yang akan memberikan reaksi kalu mengenai bagian tubuh jasad. Karena pewarnaan tersebut berbentuk ion yang bermuatan positif ataupun negative. Sel bakteri bermuatan mendekati negatif kalau dalam keadaan pH mendekati netral. Sehingga kalau kita memberikan pewarnaan yang bermuatan positif ataupun negatif (Suriawiria, 1985).
Pewarnaan Sederhana (Pewarnaan Positif). Sebelum dilakukan pewarnaan dibuat ulasan bakteri di atas object glass yang kemudian difiksasi. Jangan menggunakan suspensi bakteri yang terlalu padat, tapi jika suspensi bakteri terlalu encer, maka akan diperoleh kesulitan saat mencari bakteri dengan mikroskop. Fiksasi bertujuan untuk mematikan bakteri dan melekatkan sel bakteri pada object glass tanpa merusak struktur selnya (Campbell dan Reece, 2005)).
Pewarnaan Negatif. Beberapa bakteri sulit diwarnai dengan zat warna basa. Tapi mudah dilihat dengan pewarnaan negatif. Zat warna tidak akan mewarnai sel melainkan mewarnai lingkungan sekitarnya, sehingga sel tampak transparan dengan latar belakang hitam (Campbell dan Reece, 2005).
Setelah dilihat di mikroskop, maka akan tampak bentuk sel bakteri. Berikut merupakan berbagai bentuk sel bakteri (Anonim, 2008):


Pewarnaan Gram adalah pewarnaan diferensial yang sangat berguna dan paling banyak digunakan dalam laboratorium mikrobiologi, karena merupakan tahapan penting dalam langkah awal identifikasi. Pewarnaan ini didasarkan pada tebal atau tipisnya lapisan peptidoglikan di dinding sel dan banyak sedikitnya lapisan lemak pada membran sel bakteri. Jenis bakteri berdasarkan pewarnaan gram dibagi menjadi dua yaitu gram positif dan gram negatif. Bakteri gram positif memiliki dinding sel yang tebal dan membran sel selapis. Sedangkan baktri gram negatif mempunyai dinding sel tipis yang berada di antara dua lapis membran sel (Irawan, 2008).
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pewarnaan gram adalah sebagai berikut (Irawan, 2008):
a. Fase yang paling kritis dari prosedur di atas adalah tahap dekolorisasi yang mengakibatkan CV-iodine lepas dari sel. Pemberian ethanol jangan sampai berlebih yang akan menyebabkan overdecolorization sehingga sel gram positif tampak seperti gram negatif. Namun juga jangan sampai terlalu sedikit dalam penetesan etanol (underdecolorization) yang tidak akan melarutkan CV-iodine secara sempurna sehingga sel gram negatif seperti gram positif.
b. Preparasi pewarnaan gram terbaik adalah menggunakan kultur muda yang tidak lebih lama dari 24 jam. Umur kultur akan berpengaruh pada kemampuan sel menyerap warna utama (CV), khususnya pada gram positif. Mungkin akan menampakkan gram variabel yaitu satu jenis sel, sebagian berwarna ungu dan sebagian merah karena pengaruh umur. Walaupun ada beberapa species yang memang bersifat gram variabel seperti pada genus Acinetobacter dan Arthrobacter.
Pewarnaan Endospora. Anggota dari genus Clostridium, Desulfomaculatum dan Bacillus adalah bakteri yang memproduksi endospora dalam siklus hidupnya. Endospora merupakan bentuk dorman dari sel vegetatif, sehingga metabolismenya bersifat inaktif dan mampu bertahan dalam tekanan fisik dan kimia seperti panas, kering, dingin, radiasi dan bahan kimia. Tujuan dilakukannya pewarnaan endospora adalah membedakan endospora dengan sel vegetatif, sehingga pembedaannya tampak jelas (Irawan, 2008).
Endospora tetap dapat dilihat di bawah mikroskop meskipun tanpa pewarnaan dan tampak sebagai bulatan transparan dan sangat refraktil. Namun jika dengan pewarnaan sederhana, endospora sulit dibedakan dengan badan inklusi (kedua-duanya transparan, sel vegetatif berwarna), sehingga diperlukan teknik pewarnaan endospora. Berikut merupakan beberapa tipe endospora dan contohnya (Irawan, 2008):
C. TUJUAN
Mengamati dan membedakan struktur yang terdapat dalam sel bakteri dan juga untuk membedakan kelompok bakteri berdasarkan reaksinya terhadap warna yang sekaligus menunjukkan sifat bakteri tersebut.
D. ALAT dan BAHAN
• Kaca obye• Jarum Inokulasi
• Mikroskop
• Tissue
• Aquades steril
• Pewarna dasar : kristal violet
• Larutan pengikat warna dasar : Larutan Iodin
• Larutan pencuci warna dasar : Alkohol ... %
• Pewarna pembanding : Lar. Safranin
• Biakan murni bakteri
E. CARA KERJA
1. Sediakan kaca benda yang bersih, lalu lewatkan diatas nyala api bunsen
2. teteskan setetes aquades steril diatas kaca benda tersebut
3. secara aseptik ambilah inokulum bakteri yang akan diperksa, lalu letakkan diatas tetesan aquades itu, kemudian ratakan perlahan-lahan
4. ambil kaca benda yang tegak sehingga apusan menjadi tipis dan merata. Biarkan sampai kering
5. fiksasi dengan cara melewatkan apusan tersebut diatas nyala api dengan cepat
6. letakkan apusan diatas kawat penyangga yang berada diatas mangkuk pewarna. Lalu teteskan larutan kristal violet pada apusan dan biarkan selama 30-60 detik
7. cuci warna dasar dengan air mengalir, keringkan
8. teteskan larutan iodin pada apusan, biarkan selama 30-60 detik
9. cuci larutan iodin dengan air mengalir, keringkan
10. rendam atau basuh dengan alkohol ... % selama ... detik
11. teteskan larutan safranin, biarkan selama 30-60 detik
12. cuci dengan air mengalir, lalu keringkan
13. amati dengan mikroskop
14. gambar bentuk morfologi














DAFTAR PUSTAKA


Campbell, N. A. Dan Reece, J. B., 2005. Biologi Jilid 2. Erlangga. Jakarta.
Hadioetomo, R, S., 1990. Mikrobiologi Dasar Dalam Praktek. Gramedia. Jakarta.
Irawan, 2008. Teknik Pewarnaan Mikroba. http://wordbiology.wordpress.com. Diakses pada hari Senin, 13 April 2008 pada pukul 19.00 WITA.
Pelczar, M. W., 1986. Dasar-Dasar Mikrobiologi 1. UI Press. Jakarta.
Suriawiria, U., 1985. Mikrobiologi Dasar dalam Praktek. Gramedia. Jakarta.
Volk, W. A. dan Margareth F. W., 1998. Mikrobiologi Dasar Jilid I. Jakarta : Erlangga.

Kemampuan Ekologi Pada Orang Utan (Pongo Pigmaeus) dan Macaca

Istilah ekologi pertama kali digunakan oleh Haeckel, seorang ahli ilmu hayat, dalam pertengahan dasawarsa 1860-an. Istilah ini berasal dari bahasa Yunani, yaitu Oikos yang berarti rumah dan Logos yang berarti ilmu. Karena itu secara harfiah ekologi berarti ilmu tentang makhluk hidup dalam rumahnya atau dapat juga diartikan sebagai tentang rtumah tangga makhluk hidup.
ORANG UTAN (Pongo pigmaeus)
Kerajaan:Animalia
Filum :Chordata
Kelas :Mamalia
Ordo :Primata
Famili :Hominidae
Upafamili:Ponginae
Elliot, 1912
Genus: Pongo
Lacépède, 1799
Spesies : Pongo pygmaeus
Pongo abelii

A.Pengertian
Orang utan (atau orangutan, nama lainnya adalah mawas) adalah sejenis kera besar dengan lengan panjang dan berbulu kemerahan, kadang cokelat, yang hidup di indonesia dan malaysia. Istilah orang utan diambil dari bahasa Indonesia dan/atau bahasa Melayu, yang berarti manusia (orang) hutan.

B.Lokasi dan Habitat
Orang utan termasuk bangsa monyet. Berbeda dengan monyet lainnya karena orang utan tidak memiliki ekor. Satwa ini merupakan satu-satunya jenis monyet yang berukuran besar, dengan tinggi tubuh yang dewasa dapat mencapai lebih dari satu meter dengan berat tubuh ada yang mencapai lebih dari 100 kilogram. Orang utan tidak hanya terdapat di Sumatera, di Kalimantan juga dijumpai banyak orang utan. Kedua orang utan ini berbeda anak jenisnya. Yang di Sumatera adalah Pongo pigmaeus, dan di Kalimantan adalah Pongo pigmaeus pigmaeus. Orang utan ditemukan di wilayah hutan hujan tropis Asia Tenggara, yaitu di pulau Borneo dan Sumatera di wilayah bagian negara Indonesia dan Malaysia. Mereka biasa tinggal di pepohonan lebat dan membuat sarangnya dari dedaunan. Orangutan dapat hidup pada berbagai tipe hutan, mulai dari hutan dipterokarpus perbukitan dan dataran rendah, daerah aliran sungai, hutan rawa air tawar, rawa gambut, tanah kering di atas rawa bakau dan nipah, sampai ke hutan pegunungan. Di Borneo orangutan dapat ditemukan pada ketinggian 500 m di atas permukaan laut (dpl), sedangkan kerabatnya di Sumatera dilaporkan dapat mencapai hutan pegunungan pada 1.000 m dpl.

C.Ciri-Ciri Umum
Ciri-ciri umum orang utan adalah warna bulunya yang merah kecoklat-coklatan atau coklat tua kehitaman. Badan ditumbuhi rambut yang agak panjang kecuali pada wajah, telapak tangan dan kaki. Pada yang jantan dewasa kadang-kadang disekitar mulut dan dagunya ditumbuhi jambang dan kumis. Kulit tubuhnya coklat tua keabu-abuan atau kehitam-hitaman dengan kedua mata yang saling berdekatan. Tulang dahi diatas mata tidak menonjol sehingga menyebabkan orang utan mirip manusia. Jumlah gigi 32 yang susunannya sama seperti manusia. Untuk bergerak, biasanya orang utan menggunakan kedua tangan dan ,kakinya atau kadang-kadang hanya berayun dengan kedua tangannya.
Orang utan mulai dewasa setelah berumur 6-8 tahun. Tubuhnya akan terus berkembang sampai dewasa penuh sekitar umur 13 tahun. Orang utran betina melahirkan anaknya dengan masa kehamilan 8,5 bulan. Dalam masa hidupnya yang dapat mencapai umur kurang lebih 30 gtahun dapat 2 hingga 4 kali melahirkan dengan jarak kelahiran 3-5 tahun.

D.Bereproduksi
Orang utan jantan dewasa sering mengeluarkan suara panjang. Apabila pada saaat itu disekitarnya ada betina yang mengalami birahi, maka orang utan betina ini akan mendekati. Perkaawinan pun dapat berlangsung secara spontan. Kemudian mereka akan terus meneruskan pengembaraanya sendiri-sendiri. Orang utan bersifat semi soliter. Artinya yang jantan dewasa selalu hidup menyendiri sadang yang betina setelah melahirkan akan selalu membawa anaknya kemana pun mereka pergi. Kadang-kadang dapat dijumpai seekor anaknya lagi yang sudah remaja mengikuti dibelakangnya.
E. Lingkungan Hidupnya
Satwa ini merupakan satu-satunya jenis monyet besar yang hampir sellu hidup diatas pohon. Hampir seluruh waktunya dihabiskan di antara satu pohon dengan pohon yang lainnya. Hanya orang-orang utan jantan yang ukurannya besar atau yang sudah tua lebih menyukai cabang-cabang rendah, bahkan sering terlihat perjalanan di atas tanah.
Pada siang hari orang utan lebih sering tinggal di dekat sarangnya. Bila merasa lapar, orang utan akan mencari makanan dengan cara berayun pada akar-akar liana atau mencoba menggoyang-goyang pohon dengan melentur-lenturkannya sambil berusaha mencapai pohon berikutnya. Kalau kebetulan pada suatu tempat sumber makanan melimpah, maka orang utan tidak akan berpindah dari tempat tersebut untuk beberapa lama. Mereka akan membuat sarang untuk tempat tidurnya pada malam hari.
Karena dalam kehidupannya orang utan sering berpindah- pindah, maka setiap kali pula mereka membuajt sarang yang baru. Dalam satu hari orang utan mengembara sejauh 500-900 meter. Untuk memperoleh makanan byang cukup, rata-rata orang utan betina membutuhkan daerah pengembaraan seluas 5-6 kilometer persegi. Sedangkan yang jantan seluas 12-15 kilometer persegi. Orang utan dapat menyesuaikan diri pada lingkungan yang berbeda, hutan payau sampai pada hutan primer dipegunungan dengan ketinggian kurang lebih 1.500 meter.

MACACA (Macaca Fascularis)


Salah satu primata yang cukup populer dikalangan masyarakat, dari anak-anak hingga orang tua adalah kera ekor panjang (Macaca fascicularis) alias monyet. Dengan tingkahnya yang atraktif dan menghibur, tak heran jika primata ini sering menjadi binatang hiburan keliling dari kampung ke kampung melalui pertunjukan “topeng monyet”.
Status dan Keberadaan Hingga saat ini diperkirakan ada 253 jenis primata di dunia yang kebanyakan hidup di kawasan hutan hujan tropis. Dari jumlah tersebut, 41 spesies dan subspesies primata terdapat di Indonesia, mulai dari Orang Utan (Pongo pygmeus) di Sumatera bagian Utara dan Kalimantan hingga yang terkecil yaitu Tangkasi (Tarsius pumilus) di Sulawesi. Dari jumlah itu, 24 di antaranya merupakan jenis endemik yakni hanya ditemukan hidup di wilayah tertentu di Indonesia saja. Salah satu primata yang cukup populer dikalangan masyarakat, dari anak-anak hingga orang tua adalah kera ekor panjang (Macaca fascicularis) alias monyet. Dengan tingkahnya yang atraktif dan menghibur, tak heran jika primata ini sering menjadi binatang hiburan keliling dari kampung ke kampung melalui pertunjukan “topeng monyet”. Pertunjukan yang hampir selalu mampu menyedot kerumunan orang setiap kali dimainkan. Aksi-aksi yang dapat membuat orang berdecak kagum, merubah tangis menjadi tawa dan menyulap amarah menjadi senyuman. Populasinya M. fascicularis banyak terdapat di kawasan Asia Tenggara, mulai dari Myanmar, Indochina, Malaysia dan Indonesia. Bahkan juga ditemukan di pulau Timor. Penyebarannya di Indonesia mencakup sebagian besar wilayah Indonesia mulai dari Sumatera, Jawa, Bali, Nusa Tenggara sampai Flores. M. fascicularis merupakan salah satu satwa liar yang statusnya hingga saat ini masih belum terdaftar sebagai spesies yang dilindungi. Namun demikian usaha-usaha untuk menjaga populasinya di alam harus tetap dilakukan. Karena tekanan terhadap populasi kera ini kian hari kian menunjukkan gejala yang mengkhawatirkan dan terus mengalami penurunan.

Deskripsi Fisik, Perilaku dan Makanan
M. fascicularis termasuk sub suku Cercophitecinae atau Cheek Pounch Monkey atau monyet dengan kantung pipi. Terdapat 11 jenis dalam suku ini di Indonesia. Jenis yang paling mirip adalah beruk (Macaca nemestrina). Panjang tubuh kera dewasa sekitar 40-50 cm belum termasuk ekor dengan berat 3 -7 kg. Sementara panjang ekor 1 hingga 1,5 kali panjang tubuh berikut kepala dengan warna coklat keabu-abuan atau kemerah-merahan. Bulunya berwarna coklat abu-abu hingga coklat kemerahan sedangkan wajahnya berwarna abu-abu kecoklatan dengan jambang di pipi berwarna abu-abu, terkadang terdapat jambul di atas kepala. Hidungnya datar dengan ujung hidung menyempit. Kera ini memiliki gigi seri berbentuk sekop, gigi taring dan geraham untuk mengunyah makanan Kera ini merupakan jenis satwa yang hidup berkelompok, dimana bisa mencapai hingga 30 ekor dalam tiap kelompok. Biasanya dalam setiap kelompok ada seekor adult male (jantan dewasa) yang menjadi pemimpin dan mendominasi anggota yang lain. Hirarki dalam komunitasnya ditentukan oleh beberapa faktor seperti usia, ukuran tubuh dan keahlian berkelahi. Mereka memasuki masa kawin pada umur enam tahun untuk pejantan dan empat tahun untuk betina. Jangan harap ada kesetiaan dalam komunitas ini. Karena pejantan biasanya kawin dengan banyak betina. Sebagai golongan omnivora yang memakan daging dan tumbuhan. Makanannya bervariasi dari buah-buahan, daun, bunga, jamur, serangga, siput, rumput muda, dan lain sebagainya. Bahkan kera ini kerap pula memakan kepiting. Tetapi, 96 % konsumsi makanan mereka adalah buah-buahan.

Manfaat
Selain diburu untuk diambil dagingnya dan dijadikan makanan siapa saji, M. fascicularis juga sering dimanfaatkan untuk keperluan penelitian medis, terutama penelitian vaksin polio, riset biomedik dan psikologis. Kera ekor panjang adalah salah satu dari lima kera yang kerap digunakan sebagai binatang percobaan. Selain itu jenis primata idola ini seringkali dijadikan sebagai pet animal (binatang peliharaan). Tak heran jika permintaan pasar ekspor bagi jenis primata ini sangat menjanjikan keuntungan yang besar, sehingga perburuan secara besar-besaran menghantui keberadaan satwa ini.

Tekanan terhadap Populasi
Selain makin menyempitnya habitat, tekanan terhadap populasinya disebabkan juga oleh perburuan liar. Ini dikarenakan tingginya permintaan pasar baik dalam maupun luar negeri terhadap satwa ini. Banyaknya manfaat dari satwa ini dan besarnya keuntungan yang diperoleh dari perburuanm satwa ini, membuat para sindikat perdagangan satwa liar kerap menjadikannya sebagai komoditas andalan. Dalam sebuah situs internet pada tahun 2001, terungkap bahwa ribuan primata tersebut dibantai tiap tahun di Lampung untuk makanan siap saji. Kebanyakan dari primata tersebut diburu secara liar untuk diambil dagingnya. Daging primata hasil pembantaian itu dijual seharga Rp 10 ribu per kg. Proses pembantaiannya sangat keji. Kera tersebut dibunuh dengan cara dipukul batok kepalanya hingga remuk dengan alat khusus, kemudian otaknya diambil dan dijadikan bahan untuk membuat sup otak monyet. Dan hingga kinipun tekanan terhadap populasi M. fascicularis tak kunjung surut. Beberapa kali jajaran Polhut BKSDA bersama WCU Lampung berhasil menggagalkan upaya penyelundupan primata ini. Memang dewasa ini Lampung bukanlah dijadikan sebagai tempat perburuan utama, namun sebagai tempat transit bagi jalur perdagangan primata tersebut dari Sumatera Selatan dan Jambi sebagai tempat perburuan utama menuju Jakarta.

Peraturan Pemanfaatan

Sesungguhnya pemanfaatan M. fascicularis khususnya untuk pasar ekspor telah diatur dalam Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : 26/Kpts-II/94 tanggal 20 Januari 1994 tentang Pemanfaatan Jenis Kera Ekor Panjang (Macaca Fascicularis), Beruk (Macaca Nemestrina) dan Ikan Arowana (Scleropagus Formosus) untuk Keperluan Ekspor. Dalam keputusan tersebut ditetapkan bahwa pemanfaatan jenis M. fascicularis untuk keperluan eksport harus berasal dari hasil penangkaran. Para eksportir diwajibkan untuk melakukan usaha penangkaran sendiri, sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Dimana jumlah satwa yang dapat diekspor oleh para eksportir telah mendapatkan izin, berdasarkan quota ekspor yang ditetapkan oleh Departemen Kehutanan dan penetapan quota ekspor telah diperiksa/ dinilai oleh Tim Akreditasi berdasarkan hasil penangkaran. Dan perlu diketahui bahwa kuota ekspor primata yang dikeluarkan BKSDA Lampung pada tahun 2004 sebesar 250 ekor, jumlah ini mengalami penurunan dibandingkan tahun 2003 sebesar 300 ekor dan 2002 sebesar 500 ekor.

Penangkaran untuk Pasar Ekspor

Dengan adanya Keputusan Menteri tersebut maka diperlukan upaya pengembangan dan pengawasan sistem penangkaran primata yang baik. Sistem captive breeding's (penangkaran tertutup) adalah konsep yang lebih tepat dan lebih menjamin pelaksanaan konservasi primata dibandingkan penangkaran di alam terbuka. Karena pengawasannya mudah dan lebih menjamin kualitas untuk kepentingan biomedis. Selain itu dapat mengurangi timbulnya manipulasi serta dapat mencegah overlaping ecologies. Pengawasan ketat terhadap para eksportir kera juga terus dilakukan agar tidak ada lagi kera Indonesia yang diekspor/ dikonsumsi secara tradisional dengan cara-cara yang mengenaskan. Juga tidak ada lagi kisah-kisah penyiksaan kera yang menyedihkan sejak proses penangkapan hingga perjalanan ekspor dengan packing yang buruk sehingga banyak menimbulkan kematian akibat kelaparan, suhu udara dan stres. Pangsa pasar ekspor bagi kera Indonesia memang cukup menggiurkan. Di Amerika saja Indonesia termasuk 3 negara eksportir kera yang terbesar bersama-sama dengan Filiphina dan Mauritius. Tetapi nilai-nilai ekomoralitas tentu harus lebih diutamakan ketimbang hanya sekedar bersikap sebagai profitur (pencari keuntungan) dengan berdagang kera, yang pada kenyataannya justru banyak menimbulkan kerugian ekosistem nasional yang nilainya jauh lebih besar ketimbang devisa yang masuk.
Kera di Tengah Kota
Kera merupakan satwa yang ramah dan dapat bersahabat dengan menusia, itulah salah satu penyebab sehingga banyak yang menjadikannya sebagai hawan peliharaan. Namun kini ada alternatif baru bagi Anda pecinta kera untuk menikmatinya tanpa harus menyiksanya dengan mengekangnya di halaman rumah Anda. Anda dapat mengunjungi Taman Wisata Kota Tirtosari, letaknya persis di belakang Hotel Hartono Jalan Kesehatan Pahoman Bandar Lampung dimana di lokasi ini dahulu pernah berdiri megah Kolam Renang Tirtosari, kolam renang umum pertama di Lampung yang kini tinggal puing-puingnya saja. Lokasi ini adalah binaan Pemkot Bandar Lampung bekerjasama dengan Rotary Club of Pahoman. Dan jika Anda datang kesini harap mematuhi peraturan yang tertera pada papan pengumuman. Ditempat ini hidup dan berkembangbiak kera-kera yang siap menyambut Anda dan mengajak Anda bermain-main. Habitat mereka adalah sepetak hutan kecil yang kira-kira luasnya hanya 1.000 m2, disini tumbuh beberapa pohon yang menjadi rumah dan sumber makanan mereka. Lansekap hutan tersebut sangat terjal dengan kemiringan lebih dari 60o, sehingga tentu saja pohon-pohon tersebut harus dipertahankan karena jika tidak, akan terjadi tanah longsor. Ditempat ini juga mengalir mata air alam yang tak pernah surut di musim kemarau. Hingga kini mata air ini masih dimanfaatkan oleh warga sekitar dan kera-kera itu tentunya. Dahulu mata air ini adalah sumber air bagi Kolam Renang Tirtosari. Pemandangan di tempat ini juga sangat indah, karena dari sini Anda dapat melihat pemandangan Kota Bandar Lampung dengan latar belakang pantai dan laut lengkap kapal-kapalnya. Berdasarkan pengamatan penulis populasi kera di hutan mencapai puluhan ekor yang terdiri dari beberapa kelompok. Umumnya selain menggantungkan hidupnya dari buah-buahan di pohon-pohon hutan, mereka juga kerap mencuri makanan dirumah warga, pohon buah-buahan di halaman rumah warga, bahkan di Hotel Hartono sendiri. Pada sore hari mereka terlihat bermain-main di jalanan dan halaman rumah warga. Bergelantungan di pohon, kabel telepon, dan memanjat tiang listrik. Kera-kera di tempat ini nampaknya dapat hidup dengan aman karena warga disini memiliki kesadaran yang tinggi untuk ikut menjaga keberadaan kera-kera tersebut. Terbukti bahwa tidak ada seorangpun warga yang berani untuk menangkap kera-kera tersebut, hal ini dikarenakan juga cerita-cerita mistis tentang kera-kera disini. Menurut cerita warga pernah ada seseorang yang mencoba menangkap kera di sini, namun selang seminggu kemudian dikembalikan lagi karena keluarganya sakit-sakitan dan lewat mimpi ia diminta untuk mengembalikan kera tersebut ke habitatnya. Masih banyak lagi cerita-cerita mistis tentang kera disini, namun uniknya justru hal inilah yang membuat keberadaan mereka tetap eksis. Jika Anda kesini cobalah membawa sekantong plastik buah-buahan dan berdiri di depan papan pengumuman. Maka selang beberapa menit kemudian puluhan kera akan menghampiri Anda untuk “merebut” buah-buahan yang Anda bawa. Anda tidak perlu takut karena mereka hanya menginginkan buah-buahan dari Anda saja. Nikmatilah saat-saat seperti ini, saat Anda dapat mencurahkan rasa kasih sayang Anda terhadap satwa di tengah-tengah habitatnya. Di tempat ini penulis sempat melihat perilaku yang menggelikan dari kera-kera tersebut. Ada seekor kera jantan yang kemana-mana selalu menggendong seekor bayi kera. Tentunya hal ini tidak lazim karena itu biasanya menjadi tugas kera betina. Dan setelah penulis melakukan sedikit pengamatan ternyata kera bayi tersebut mengemut-ngemut alat kelamin si kera jantan, mungkin kera bayi tadi mengira itu adalah puting susu induk betina yang seharusnya menyusuinya. Dan dengan hal tersebut si kera jantan merasakan kenikmatan tersendiri, dan tentu saja betah untuk menggendong bayi kera tadi kemana-mana. Kejadian ini membuat penulis tersenyum dan bergumam “oh… betapa berbudaya-nya engkau kera”.
Betapun kecilnya, tempat seperti ini memiliki arti konservasi bagi kehidupan liar. Entah masih ada berapa lagi petak-petak hutan kecil di Kota Bandar Lampung yang menjadi habitat bagi M. fascicularis dan berpotensi sebagai objek wisata alternatif ditengah kebisingan kota. Tentunya ini menjadi PR kita bersama selaku insan konservasi untuk menginventarisirnya.




DAFTAR PUSTAKA
"http://id.wikipedia.org/wiki/Orang_utan". Diakses pada hari Jumat, 5 Desember 2008.

Rakatama, A. 2008. Kera Ekor Panjang (Macaca Fascicularis) : Ancaman Dan Tekanan Terhadap Populasinya. http://macaca.com. Diakses pada hari Jumat, 5 Desember 2008.

Sastrapradja, S. T., Adisoemarto, S., dan Rifai, M. 1992. Khazanah Flora dan Fauna Nusantara. Yayaysan Obor Indonesia. Jakarta.
Soemarwoto, O., 1983. Ekologi Lingkungan Hidup dan Pembangunan. Djambatan. Bandung.
welcome